Pancasila sebagai kenyataan hidup dalam masyarakat
Ketika Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 mengemukakan bahwa Republik Indonesia yang akan diproklamasikan memerlukan Dasar Negara yang kokoh dan kemudian mendapat persetujuan para Pendiri Negara untuk menjadikan usulnya yang diberi nama Pancasila Dasar Negara itu, maka sejak itu bangsa Indonesia mempunyai satu landasan atau Weltanschauung yang membedakannya dari bangsa-bangsa yang lain di dunia.
Dalam perjuangan bangsa Indonesia selanjutnya Pancasila telah berperan amat besar dan bahkan menentukan. Dampak utama Pancasila sebagai Dasar Negara RI adalah bahwa hingga sekarang Republik Indonesia masih tetap berdiri meskipun selama 55 tahun harus mengalami ancaman, tantangan dan gangguan yang bukan main banyaknya dan derajat bahayanya. Pancasila telah menjadi pusat berkumpul (rallying point) bagi berbagai pendapat yang berkembang di antara para pengikut Republik sehingga terjaga persatuan untuk menjamin keberhasilan perjuangan. Pancasila juga memberikan pedoman yang jelas untuk menetapkan arah perjuangan pada setiap saat, terutama apabila harus dihadapi ancaman yang gawat yang datang dari luar. Pancasila juga telah menimbulkan motivasi yang kuat sehingga para pengikut Republik terus menjalankan perjuangan sekalipun menghadapi tantangan dan kesukaran yang bukan main beratnya. Dengan begitu Pancasila menjadi Identitas bangsa Indonesia. Namun ada satu kekurangan penting yang terdapat pada Dasar Negara kita, yaitu bahwa Pancasila belum menjadi kenyataan hidup dalam masyarakat Indonesia.
Adalah amat aneh dan tragis bahwa Bung Karno sebagai pencetus Pancasila dalam menjalankan pemerintahannya malahan melanggar nilai-nilai Pancasila ketika menerapkan Demokrasi Terpimpin serta berbagai pengaturan politik dan ekonominya. Akibatnya adalah bahwa Bung Karno tidak berhasil menjadikan Pancasila sebagai kenyataan hidup dalam masyarakat Indonesia.
Kemudian dalam masa Orde Baru Presiden Soeharto memang dapat menggolkan diterimanya Eka Prasetya Panca Karsa dalam MPR, diikuti dengan penyelenggaraan Penataran Pancasila secara luas oleh BP7. Akan tetapi politik pemerintah yang memaksa semua organisasi politik menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, justru bertentangan dengan Pancasila yang seharusnya merupakan ideologi terbuka. Itu semua tidak menjadikan Pancasila kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Justru Pancasila didiskreditkan karena namanya digunakan untuk menutupi perbuatan dan tindakan yang melanggar nilai-nilai Pancasila. Antara lain berakibat bahwa Demokrasi Pancasila menjadi ejekan dan buah tertawaan karena sama sekali tidak ada demokrasinya.
Meskipun Pancasila selama 55 tahun berdirinya Republik Indonesia telah disalahgunakan oleh banyak penguasa, namun bagian terbesar rakyat Indonesia tetap menganggap Pancasila sebagai Dasar Negaranya. Tanpa Pancasila tidak ada Republik Indonesia. Hanya sebagian kecil saja rakyat Indonesia yang tidak menghendaki Pancasila karena terpengaruh oleh gagasan-gagasan lain yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Oleh sebab itu menjadi kewajiban kita untuk mengatasi kelemahan yang masih ada dan secara sungguh-sungguh serta mantap mengusahakan agar Pancasila menjadi kenyataan hidup dalam masyarakat. Justru ketika bangsa Indonesia mengalami tahap surut yang demikian parah usaha itu amat penting. Sebab dalam keadaan begitu terbuka peluang bagi mereka yang tidak menghendaki Pancasila untuk memaksakan gagasan mereka menjadi landasan hidup bangsa Indonesia.
Kita harus mengusahakan agar dalam masyarakat Indonesia nilai Ketuhanan Yang Maha Esa makin kuat, karena itulah landasan spiritual dan moral bagi perjuangan. Dengan landasan demikian perjuangan kita akan lebih ulet dan tahan terhadap setiap tantangan. Untuk itu kehidupan beragama harus dilakukan lebih mendalam dan tidak hanya dipandang dari sudut ritual belaka. Sekarang ada kemajuan bahwa mesjid, gereja dan pura makin banyak dikunjungi warga masyarakat. Namun ternyata bahwa faktor kuantitas ini belum diimbangi dengan faktor kualitas yang memadai. Itu terbukti dari perilaku banyak anggota masyarakat yang jauh sekali dari nilai spiritual dan moral yang tinggi. Rendahnya mutu kendali diri umpamanya merupakan indikasi dari kurangnya kualitas spiritual bangsa.
Demikian pula nilai-nilai lain masih perlu sekali terwujud dalam kehidupan yang nyata. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab harus makin meningkatkan perwujudan Hak-Hak Azasi Manusia serta kepedulian sosial. Persatuan Indonesia harus memperlihatkan makin berkembangnya kesempatan bagi setiap daerah untuk mengatur dirinya dengan pelaksanaan otonomi yang luas; sebaliknya makin kuat persatuan antar-daerah dalam negara kesatuan Republik Indonesia sehingga tidak terjadi disintegrasi nasional. Kerakyatan atau Demokrasi sekarang memang sedang meningkat sejak Reformasi, termasuk kebebasan atau kemerdekaan pers. Namun yang terjadi malahan kebablasan yang merugikan masyarakat pada umumnya ketika perorangan atau golongan tertentu terlalu memanfaatkan kebebasan untuk kepentingannya sendiri. Keadilan Sosial masih sangat perlu diwujudkan, antara lain dalam bidang ekonomi melalui perwujudan kekuatan ekonomi rakyat yang meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Ini baru beberapa cuplikan dari hal-hal yang harus kita usahakan agar Pancasila menjadi kenyataan hidup dalam masyarakat.
Lawan dan Kendala yang kita hadapi
Usaha untuk menjadikan Pancasila kenyataan hidup bukannya tanpa tantangan atau gangguan. Dan itu datang dari dalam tubuh bangsa kita sendiri maupun dari luar. Seperti sudah dikatakan ada pihak-pihak yang mempunyai pandangan lain atau bahkan mempunyai kepentingan yang berbeda.
Dulu selalu dikatakan bahwa Pancasila menghadapi tantangan dari mereka yang ingin mendirikan satu negara Islam di Indonesia. Akan tetapi anggapan demikian sudah tidak benar. Sekarang kebanyakan pemimpin organisasi Islam menyatakan bahwa Pancasila yang harus menjadi Dasar Negara RI dan mereka setia kepadanya. Mereka tiba pada kesadaran itu melalui berbagai jalan dan bukan karena pemaksaan seperti yang dialami dalam masa Orde Baru.
Ada yang berpendapat bahwa Kitab Suci Al Quran tidak mengatakan harus ada Negara Islam. Yang harus diperjuangkan adalah agar nilai-nilai ajaran Islam dilaksanakan. Dan hal itu dapat dilakukan dalam negara berdasarkan Pancasila karena kebanyakan nilai ajaran Islam sama atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Ada yang lain yang tiba pada kesimpulan itu karena melihat bahwa Republik Indonesia meliputi banyak sekali suku bangsa dan tidak semua memeluk agama Islam. Oleh sebab itu untuk mempunyai satu negara yang kokoh kuat di segala bidang, maka sebaiknya Dasar Negara adalah Pancasila. Karena nilai-nilai Pancasila banyak persamaannya dengan ajaran Islam maka satu negara berdasarkan Pancasila dapat diterima sepenuhnya oleh umat Islam. Mungkin ada di antara umat Islam di Indonesia yang masih secara kolot hendak memperjuangkan satu negara Islam. Akan tetapi jumlah mereka amat sedikit dibandingkan dengan jumlah umat Islam Indonesia yang merupakan lebih dari 85 prosen penduduk Indonesia. Juga pemimpin mereka jauh lebih rendah kemampuannya serta kecil pengaruhnya dibandingkan dengan para pemimpin Islam yang menghendaki Pancasila sebagai Dasar Negara.
Yang lebih berat bagi perjuangan Pancasila adalah pandangan yang berasal dari dunia Barat dan diikuti oleh sejumlah warga negara Indonesia. Terutama sejak selesainya Perang Dingin antara blok Barat dan komunis, ada usaha pihak Barat dan khususnya Amerika Serikat untuk makin meluaskan pandangan hidupnya. Buku berjudul The End of History and the Last Man, karangan Francis Fukuyama merupakan salah satu indikasi dari gejala itu. Mereka mengatakan bahwa dengan diakhiri perlawanan blok komunis terhadap blok Barat yang memperjuangan liberalisme dan kapitalisme, tidak ada alasan bagi umat manusia dewasa ini untuk tidak mengikuti cara hidup dan pandangan dunia Barat. Katanya, sedangkan Russia sebagai bekas pusat blok komunis sekarang sepenuhnya menjalankan perubahan ke arah liberalisme dan kapitalisme, masakan bangsa lainnya tidak cukup sadar dan yakin akan manfaat pandangan itu. Oleh sebab itu politik luar negeri AS sekarang diwarnai oleh tekanan agar bangsa-bangsa yang tidak mengikuti pandangan itu merubah dirinya. Atau kalau tidak mau merubah dirinya harus siap untuk dirubah.
Samuel Huntington dari Universitas Harvard AS menulis buku berjudul The Clash of Civilizations. Pokok dari isi buku itu adalah pandangan bahwa perjuangan bagi dunia Barat setelah berakhirnya Perang Dingin adalah perbenturan peradaban antara Barat dengan Non-Barat, khususnya dunia Islam dan Asia Timur. Memang buku itu banyak disanggah oleh cendekiawan Barat, tetapi dalam kenyataan sekarang cukup terasa kebenarannya di masyarakat Barat. Apalagi karena manusia Barat pada umumnya bersifat agressif apabila mengejar kepentingannya.
Di tubuh bangsa Indonesia terdapat sejumlah orang, umumnya cendekiawan dan politikus, yang condong kepada pikiran Barat tersebut. Di antara mereka ada yang sejak 1945 sudah tidak setuju dengan Pancasila. Ada pula yang kemudian menjadi bersikap begitu karena hidup dan studi di dunia Barat atau banyak bersentuhan dengan dunia Barat. Andai kata mereka berdiri sendiri kita tidak perlu terlalu khawatir akan tantangan itu. Sebab jumlah mereka terbatas dan umumnya kurang mempunyai akar kepada masyarakat. Akan tetapi karena dari luar ada usaha kuat yang memang hendak mem-Baratkan seluruh umat manusia, maka tantangan yang kita hadapi tidak ringan. Pada umumnya keberhasilan mereka banyak ditentukan oleh kelemahan pihak kita sendiri berupa perbuatan-perbuatan yang mendiskreditkan Pancasila. Antara lain sistem politik yang diterapkan pemerintahan Presiden Soeharto yang dinamakan Demokrasi Pancasila sangat membantu mereka untuk menjelek-jelekkan Pancasila. Demikian pula luasnya Korupsi-Kolusi-Nepotisme di Indonesia yang timbul dalam sistem pemerintahan Soeharto yang menamakan diri pembela Pancasila. Dengan begitu mereka dapat mengatakan bahwa Pancasila hanya slogan dan omong kosong belaka. Sedangkan nilai-nilai Barat terbukti dalam kehidupan bangsa-bangsa Barat yang maju, demokratis, terjaga keadilan sosialnya dan HAM. Dapat kita lihat bahwa sekalipun mereka berjumlah sedikit, tetapi karena sejak Reformasi berlaku sangat agressif dan vokal, maka pengaruhnya kepada kaum muda cukup besar. Apalagi mereka kuasai bagian terbesar dari media massa karena mempunyai kekuatan dana yang tentu diperoleh dari bantuan luar negeri dengan memanfaatkan LSM.
Dilihat dari kenyataan sekarang maka perjuangan untuk menjadikan Pancasila kenyataan hidup bukan satu hal yang mudah dan ringan. Diperlukan sumberdaya manusia yang cakap dan ulet, organisasi, dana yang memadai serta kepemimpinan yang tepat.
Platform Perjuangan Tamansiswa
Perjuangan Tamansiswa sejak berdirinya di zaman penjajahan adalah didasarkan pada nilai kebangsaan dan kebudayaan atau kultural. Ki Hadjar Dewantara menyadari bahwa perjuangan kebangsaan harus bermuara pada kemerdekaan bangsa. Memperhatikan sifat kolonialisme Belanda maka disimpulkan bahwa perjuangan itu akan lama. Oleh sebab itu diperlukan banyak kader agar perjuangan tidak berhenti di tengah jalan. Ki Hadjar berpendapat bahwa karena alasan itu Tamansiswa harus menetapkan pendidikan sebagai jalan dan sarana utama bagi perannya dalam perjuangan kebangsaan itu. Maka Tamansiswa sejak permulaan melakukan kegiatan pendidikan yang bertujuan mendidik kader perjuangan kebangsaan.
Sikap Tamansiswa dalam menjalankan segenap usahanya tidak pernah lepas dari landasan kultural ke-Indonesiaan. Oleh sebab itu, meskipun Pancasila baru pada tahun 1945 dicetuskan oleh Bung Karno, namun pandangan Tamansiswa sejak semula tidak beda dari apa yang kemudian keluar sebagai usul Bung Karno. Tamansiswa juga menjunjung tinggi Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. Sebaliknya Tamansiswa sejak semula juga melawan liberalisme dan kapitalisme yang merupakan sumber kolonialisme dan imperialisme.
Memperhatikan hal-hal tersebut di atas dapat kita simpulkan bahwa Tamansiswa dan semua hasil didiknya akan sependapat bahwa Pancasila harus selalu dijaga kelestariannya sebagai Dasar Negara RI. Dan usaha untuk menjadikan Pancasila kenyataan hidup pasti sesuai dengan pandangan dan kepentingan Tamansiswa serta segenap keluarga besarnya. Menjadikan Pancasila sebagai kenyataan hidup tidak berarti bahwa kita menolak nilai-nilai yang berasal dari Barat tetapi mempunyai manfaat dan dampak yang sangat baik dan penting bagi bangsa Indonesia, selama hal itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan satu contoh yang baik.
Oleh sebab itu pantas kiranya apabila Tamansiswa dalam Era Reformasi ini mempunyai satu platform perjuangan untuk dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi suksesnya Reformasi serta masa depan bangsa. Dan menentukan tema Pancasila sebagai kenyataan hidup dalam masyarakat sebagai platform perjuangan itu. Dengan demikian peran Tamansiswa dalam perjuangan bangsa Indonesia akan kembali nampak serta menonjol.
Sebenarnya sejarah Tamansiswa dalam perjuangan bangsa menunjukkan bahwa Tamansiswa sebagai organisasi paling tepat untuk menjadi pelopor dalam perjuangan menjadikan Pancasila kenyataan hidup. Seperti dikatakan semula nilai-nilai yang diperjuangkan Tamansiswa sejak semula adalah sama dengan yang terdapat dalam Pancasila. Karena itu kepeloporan Tamansiswa dalam hal ini akan amat besar pengaruhnya kepada perjuangan bangsa di masa depan.
kesimpulan
Sudah diuraikan betapa perjuangan bangsa Indonesia sekarang sedang menghadapi persoalan dan tantangan. Untuk masa depan yang cerah haruslah Pancasila tetap dijaga kelestariannya sebagai Dasar Negara RI. Sangat penting dalam usaha itu adalah kalau Pancasila menjadi kenyataan hidup dalam masyarakat Indonesia. Dengan begitu bangsa Indonesia akan mempunyai Identitas yang jelas, yaitu Pancasila.
Namun usaha itu bukannya tanpa tantangan dan rintangan serta gangguan yang bahkan datang dari luar negeri di samping dari dalam negeri. Sebab itu perjuangan itu memerlukan kepeloporan. Berdasarkan sejarahnya Tamansiswa adalah tepat sebagai pelopor perjuangan menegakkan Pancasila sebagai kenyataan hidup.
Yang kita harapkan adalah agar segenap warga Keluarga Besar Tamansiswa menerima ajakan ini sehingga menjadi satu gerakan yang kuat dan ulet menuju ke keberhasilan serta masa depan bangsa Indonesia yang maju dan sejahtera lahir dan batin.
Senin, 11 April 2011
Kamis, 07 April 2011
Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia
Pancasila merupakan ideologi bangsa dan negara Indonesia. Pada pembahasan kali ini, kita akan berusaha mempelajari bagaimanakah peran Pancasila sebagai ideologi bangsa serta negara yang dapat memunculkan suatu interpretasi baru untuk tumbuh dan berkembang, membentuk peraturan intelektual bagi kehidupan masyarakat Indonesia, dan masih banyak lagi peran Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai awalan, banyak yang menyebutkan bahwa ideologi Pancasila dapat membuka jalan bagi lahirnya interpretasi baru dan hal ini benar adanya.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa mereka yang melahirkan ideologi ini dulu secara jujur mengakui keterbatasan-keterbatasan pemikiran mereka untuk mampu memberikan pengertian dan analisa final yang dapat secara terus menerus. Mereka tampaknya mengakui bahwa visi mereka tak mampu menjangkau perkembangan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Dengan memberikan peluang tersebut, berarti mereka memberikan kesempatan bagi generasi baru untuk memperbaiki atau menyempurnakannya, karena ideologi dituntut harus mempunyai fleksibilitas yaitu membuka dirinya untuk diinterpretasikan kembali dari waktu ke waktu sesuai dengan proses perkembangan dan kemajuan masyarakat.
Apa Itu Ideologi?
Secara etimologis, istilah ideologi berasal dari kata Yunani yaitu ‘idea’ yang berarti pemikiran, gagasan dan konsep keyakinan serta ‘logos’ yang berarti pengetahuan. Dengan demikian, konsep ideologi pada dasarnya adalah ilmu pengetahuan tentang gagasan, konsep keyakinan atau pemikiran. Ideologi dapat dibedakan menjadi dua jenis:
Pertama, ideologi doktriner. Ideologi ini bersifat ketat dan mengandung ajaran-ajaran yang disusun secara jelas dan sistematis, serta diindoktrinasikan pada komunitasnya dengan pengawasan ketat dalam rangka pelaksanaan ideologi dan seringkali dimonopoli oleh rezim yang berkuasa. Dalam hal ini, berarti pemimpin suatu negara memiliki kendali penuh dan kekuasaan dalam pelaksanaan negara beserta ideologi yang dianut. Kedudukan pemimpin negara seolah berada di atas kedudukan ideologi dan sistem pemerintahan akan bersifat otoriter.
Kedua, ideologi pragmatis. Ideologi ini bersifat tidak ketat dan mengandung ajaran-ajaran yang tidak disusun secara rinci, tidak diindoktrinasikan, serta tidak memiliki pengawasan yang ketat dalam pelaksanaannya (Emile Durkheim dalam George Simpson, New York, Free Press, 1964.54).
Dalam pengertian lain, Alfian mendefinisikan ideologi sebagai akumulasi nilai-nilai yang dianggap baik dan benar tentang tujuan yang ingin dicapai masyarakat, sekaligus menjadi pedoman dan cita-cita pengatur perilaku masyarakat dalam berbagai kehidupan. Karenanya, ideologi berfungsi menjadi tujuan dan cita-cita bersama masyarakat, serta menjadi pedoman dan alat ukur perilaku dalam hubungannya dengan kebijakan negara serta sebagai pemersatu masyarakat karena menjadi prosedur penyelesaian konflik yang muncul dalam masyarakat tersebut. (Alfian, Idiologi, Idealisme dan Integrasi Nasional, Prisma, 8-8-1976).
Implikasi Logis Pancasila Sebagai Ideologi
Sejak dirumuskannya Pancasila sebagai ideologi bangsa, secara eksplisit maupun implisit Pancasila mengandung konsekuensi logis bagi seluruh organ-organ dan masyarakat yang hidup tumbuh berkembang dalam Negara Indonesia merdeka untuk menyandarkan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat atas dasar Pancasila. Ideologi Pancasila juga memberikan sandaran bagi lalu lintas kehidupan umat manusia di Indonesia.
Suatu ideologi yang dibuat harus berorientasi pada kehidupan masyarakat, mengapa? Hal ini dikarenakan dalam setiap proses pergaulan, apalagi dalam terminologi bangsa yang plural dan heterogen seperti Indonesia haruslah dibutuhkan suatu ‘aturan main’ yang tentunya disepakati bersama untuk memberikan arahan agar setiap konflik pluralitas dan heterogenitas yang mungkin muncul akan dapat terminimalisir, serta bagaimana nilai-nilai dalam ideologi tersebut mengkonstruk struktur sosial yang mempunyai visi kebangsaan yang sama meski berawal dari keragaman (kepentingan). Namun demikian, bukan berarti kehidupan masyarakat semata-mata merupakan manifestasi ideologi. Sebab, selalu saja dialektika yang berkesinambungan antara ideologi dengan kenyataan kehidupan masyarakatnya akan menentukan kualitas dari ideologi tersebut.
Relasi Ideologi dengan Realitas Sosial
Setelah berbicara panjang lebar dan mengenali suatu ideologi, lantas apakah korelasi logis antara sebuah ideologi (dalam hal ini adalah Pancasila) dengan kenyataan kehidupan masyarakat? Sebuah ideologi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dan lepas dari kenyataan hidup masyarakat, namun ideologi adalah sebuah produk atau hasil dari kebudayaan masyarakat. Dan karenanya, dalam artian tertentu merupakan manifestasi sosial dari keinginan luhur masyarakat. Artinya, perumusan suatu ideologi Pancasila seharusnya dimaknai dari adanya keinginan untuk mewujudkan suatu struktur dan konstruk masyarakat yang diidealisasikan sesuai dengan keadaannya.
Pada hakikatnya sebuah ideologi tidak lain merupakan sebuah refleksi manusia atas kemampuannya dalam mengadakan distansi terhadap dunia kehidupannya. Maksud kalimat tersebut adalah bahwa antara ideologi dan kenyataan hidup masyarakat terjadi sebuah hubungan dialektis yang menimbulkan kelangsungan pengaruh hubungan timbal balik yang terwujud dalam sebuah interaksi. Dengan demikian, ideologi mencerminkan cara berpikir dan bertata kehidupan masyarakat serta membentuk masyarakat menuju cita-cita yang telah diharapkan bersama sehingga ideologi seharusnya tidak hanya dianggap sebagai pengetahuan teoritis saja, namun lebih merupakan sesuatu yang dihayati menjadi sebuah keyakinan.
Adakah Kritik Terhadap Pancasila Sebagai Sebuah Ideologi?
Dalam perjalanannya, Pancasila memang kerap kali mendapatkan kritik dari masyarakat dengan melayangkan tuntutan-tuntutan yang bersifat memperdebatkan ‘keabsahan’ Pancasila sebagai sebuah ideologi Indonesia. Seperti munculnya gagasan diberlakukannya federalisme dalam sistem kenegaraan Indonesia, fenomena munculnya kembali partai-partai politik, organisasi massa dan organisasi kepemudaan yang memakai asas di luar Pancasila dalam menjalankan aktivitas administrasi dan organisasinya. Berbagai bentuk penyelewengan atas Pancasila tidak harus dimaknai sebagai sebuah alasan untuk menggantikan ideologi suatu negara. Penyelewengan adalah bukti ketidakseriusan pengelola negara dalam menjalankan Pancasila secara murni dan konsekuen. Itulah sebabnya, agar berbagai penyelewengan atas Pancasila dapat diminimalisir, maka sudah saatnya Pancasila didudukkan kembali menjadi ideologi terbuka yang harus terus menerus disempurnakan sehingga pada akhirnya selalu ‘up to date’ untuk menjawab persoalan yang timbul di negara Indonesia.
Kekuatan Pancasila Sebagai Sebuah Ideologi
Kekuatan ideologi Pancasila dapat diukur dari tiga dimensi yang saling berkaitan, saling mengisi dan saling memperkuat. Ketiga dimensi tersebut adalah:
1. Dimensi Realitas, dimana sebuah ideologi mengandung makna bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya bersumber dari nilai-nilai riil yang hidup dalam masyarakatnya.
2. Dimensi Idealitas, dimana suatu ideologi harus mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Melalui idealisme atau cita-cita yang terkandung dalam ideologi, suatu masyarakat akan mampu mengetahui ke mana mereka ingin membangun kehidupan bersama.
3. Dimensi Fleksibilitas, dimana sebuah ideologi harus memiliki keluwesan yang memungkinkan dan bahkan merangsang pengembangan pemikiran baru yang relevan tanpa menghilangkan atau mengingkari hakikat yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya.
Berdasar pada ketiga dimensi tersebut, Pancasila jelas memenuhi standar realitas, idealitas dan fleksibilitas, karena dinamika internal yang terkandung dalam sifatnya sebagai ideologi terbuka. Secara ideal-konseptual, Pancasila adalah ideologi yang kuat, tangguh, kenyal dan bermutu tinggi. Dinamika internal yang terkandung dalam suatu ideologi biasanya mempermantap, mempermapan dan memperkuat relevansi ideologi tersebut dalam masyarakatnya.
Namun hal tersebut tetap bergantung pada kehadiran beberapa faktor di dalamnya yaitu: kualitas nilai dasar yang terkandung dalam ideologi tersebut; persepsi, sikap, dan tingkah laku masyarakat terhadapnya; kemampuan masyarakat dalam mengembangkan pemikiran-pemikiran baru yang relevan terhadap ideologinya; serta menyangkut seberapa jauh nilai-nilai yang terkandung di dalam ideologi tersebut membudaya dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan berbagai dimensinya.
Perjalanan Pancasila Sebagai Ideologi dari Masa ke Masa
Berawal dari sidang pleno BPUPKI pertama yang diadakan pada tanggal 28 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945. Ketika itu, dr. Radjiman Widyodiningrat dalam pidato pembukaannya selaku ketua BPUPKI mengajukan pertanyaan kepada seluruh anggota sidang mengenai dasar negara apa yang akan dibentuk untuk Indonesia. Pertanyaan ini menjadi persoalan paling dominan sepanjang 29 Mei-1 Juni 1945 dan memunculkan sejumlah pembicara yang mengajukan gagasan mereka mengenai dasar filosofis Indonesia.
Pada tanggal 1 Juni 1945, secara eksplisit Ir. Soekarno mengemukakan gagasannya mengenai dasar negara Indonesia dalam pidatonya yang berjudul “Lahirnya Pancasila”. Menurut Drs. Mohammad Hatta, pidato tersebut bersifat kompromis dan dapat meneduhkan pertentangan tajam antara pendapat yang mempertahankan Negara Islam dan mereka yang menghendaki dasar negara sekuler. Perdebatan tersebut pada akhirnya dimenangkan kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara, terbukti dengan dikeluarkannya Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, ternyata beberapa rumusan Piagam Jakarta diganti dan menimbulkan kekecewaan umat Islam terhadap pemerintahan Soekarno dan Mohammad Hatta dan terus berkembang hingga masa pemerintahan Soeharto, sampai-sampai Carol Gluck mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang terlalu banyak meributkan masalah ideologi dibandingkan negara-negara lain. Melihat pada perkembangan perumusan Pancasia sejak 1 Juni sampai 18 Agustus 1945, dapat diketahui bahwa Pancasila mengalami perkembangan fungsi. Pada tanggal 1 dan 22 Juni, Pancasila yang dirumuskan Panitia Sembilan dan disepakati oleh Sidang Pleno BPUPKI merupakan modus kompromi antara kelompok yang memperjuangkan dasar negara nasionalisme dan kelompok yang memperjuangkan dasar negara Islam. Akan tetapi, pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila yang dirumuskan kembali oleh PPKI berkembang menjadi kompromi antara kaum nasionalis, Islam dan Kristen-Katolik dalam hidup bernegara.
Pada era Orde Lama, dinamika perdebatan ideologi paling sering dibicarakan oleh kebanyakan orang. Tampak ketika akhir tahun 1950-an, Pancasila sudah bukan lagi merupakan kompromi atau titik temu bagi semua ideologi. Dikarenakan Pancasila telah dimanfaatkan sebagai senjata ideologis untuk melegitimasi tuntutan Islam bagi pengakuan negara atas Islam yang kemudian pada rentang tahun 1948-1962 terjadi pemberontakan Darul Islam terhadap pemerintah pusat. Setelah pemberontakan berhasil ditumpas, atas desakan AH Nasution, selaku Pangkostrad dan kepala staf AD, pada 5 Juli 1959 Ir. Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali pada UUD 1945 sebagai satu-satunya konstitusi legal Republik Indonesia dan pemerintahannya dinamai dengan Demokrasi Terpimpin.
Pada masa Demokrasi Terpimpin pun ternyata tidak semulus yang diharapkan. Periode labil ini justru telah membubarkan partai Islam terbesar, Masyumi, karena dianggap ikut andil dalam pemberontakan regional berideologi Islam. Bahkan, Soekarno membatasi kekuasaan partai politik yang ada serta mengusulkan agar rakyat menolak partai-partai politik karena mereka menentang konsep musyawarah dan mufakat yang terkandung dalam Pancasila. Soekarno juga menganjurkan sebuah konsep yang dikenal dengan NASAKOM yang berarti persatuan antara nasionalisme, agama dan komunisme. Kepentingan politis dan ideologis yang saling bertentangan menimbulkan struktur politik yang sangat labil sampai pada akhirnya melahirkan peristiwa G 30S/PKI yang berakhir pada runtuhnya kekuasaan Orde Lama.
Selanjutnya pada masa Orde Baru, Soeharto berusaha meyakinkan bahwa rezim baru adalah pewaris sah dan konstitusional dari presiden pertama. Soeharto mengambil Pancasila sebagai dasar negara dan ini merupakan cara yang paling tepat untuk melegitimasi kekuasaannya. Berbagai bentuk perdebatan ternyata tidak semakin membuat stabilitas negara berjalan dengan baik, tetapi justru struktur politik labil yang semakin mengedepan dikarenakan Soeharto seringkali mengulang pernyataan tegas bahwa perjuangan Orde Baru hanyalah untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen, yang berarti bahwa tidak boleh ada yang menafsirkan resmi tentang Pancasila kecuali dari pemerintah yang berkuasa.
Pada masa reformasi (setelah rezim Soeharto runtuh), seolah menandai adanya jaman baru bagi perkembangan perpolitikan nasional sebagai anti-tesis dari Orde Baru yang dianggap menindas dengan konfrimitas ideologinya. Pada era ini timbul keingingan untuk membentuk masyarakat sipil yang demokratis dan berkeadilan sosial tanpa kooptasi penuh dari negara. Lepas kendalinya masyarakat seolah menjadi fenomena awal dari tragedi besar dan konflik berkepanjangan. Tampaknya era ini mengulang problem perdebatan ideologi yang terjadi pada masa Orde Lama, Orde Baru, yang berakhir dengan instabilitas politik dan perekonomian secara mendasar. Berbagai bentuk interpretasi monolitik selama ini cenderung mengaburkan dan menguburkan makna substansial Pancasila dan berakibat pada Pancasila yang menjadi sebuah mitos, selalu dipahami secara politis-ideologis untuk kepentingan kekuasaan serta nilai-nilai dasar Pancasila menjadi nilai yang distopia, bukan sekedar utopia.
Seperti Apakah Reaktualisasi Ideologi Pancasila?
Pancasila jika akan dihidupkan secara serius, maka setidaknya dapat menjadi etos yang mendorong dari belakang atau menarik dari depan akan perlunya aktualisasi maksimal setiap elemen bangsa. Hal tersebut bisas saja terwujud karena Pancasila itu sendiri memuat lima prinsip dasar di dalamnya, yaitu: Kesatuan/Persatuan, kebebasan, persamaan, kepribadian dan prestasi. Kelima prinsip inilah yang merupakan dasar paling sesuai bagi pembangunan sebuah masyarakat, bangsa dan personal-personal di dalamnya.
Menata sebuah negara itu membutuhkan suatu konsensus bersama sebagai alat lalu lintas kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa konsensus tersebut, masyarakat akan memberlakukan hidup bebas tanpa menghiraukan aturan main yang telah disepakati. Ketika Pancasila telah disepakati bersama sebagai sebuah konsensus, maka Pancasila berperan sebagai payung hukum dan tata nilai prinsipil dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.
Dan sebagai ideologi yang dikenal oleh masyarakat internasional, Pancasila juga mengalami tantangan-tantangan dari pihak luar/asing. Hal ini akan menentukan apakah Pancasila mampu bertahan sebagai ideologi atau berakhir seperti dalam perkiraan David P. Apter dalam pemikirannya “The End of Idiology”. Pancasila merupakan hasil galian dari nilai-nilai sejarah bangsa Indonesia sendiri dan berwujud lima butir mutiara kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu religius monotheis, humanis universal, nasionalis patriotis yang berkesatuan dalam keberagaman, demokrasi dalam musyawarah mufakat dan yang berkeadilan sosial.
Dengan demikian Pancasila bukanlah imitasi dari ideologi negara lain, tetapi mencerminkan nilai amanat penderitaan rakyat dan kejayaan leluhur bangsa. Keampuhan Pancasila sebagai ideologi tergantung pada kesadaran, pemahaman dan pengamalan para pendukungnya. Pancasila selayaknya tetap bertahan sebagai ideologi terbuka yang tidak bersifat doktriner ketat. Nilai dasarnya tetap dipertahankan, namun nilai praktisnya harus bersifat fleksibel. Ketahanan ideologi Pancasila harus menjadi bagian misi bangsa Indonesia dengan keterbukaannya tersebut.
Pada akhirnya, semoga seluruh bangsa dan negara Indonesia serta Pancasila sebagai ideologinya akan tetap bertahan dan tidak goyah meskipun dihantam badai globalisasi dan modernisme. Sebagai generasi penerus, marilah kita menjaga Indonesia dan Pancasila agar saling berdampingan dan tetap utuh hingga anak cucu kita nantinya sebagai penerus kelangsungan negara ini.
Sumber : http://klaussurinka.blogspot.com/2010/05/pancasila-sebagai-ideologi-bangsa-dan.html
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa mereka yang melahirkan ideologi ini dulu secara jujur mengakui keterbatasan-keterbatasan pemikiran mereka untuk mampu memberikan pengertian dan analisa final yang dapat secara terus menerus. Mereka tampaknya mengakui bahwa visi mereka tak mampu menjangkau perkembangan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Dengan memberikan peluang tersebut, berarti mereka memberikan kesempatan bagi generasi baru untuk memperbaiki atau menyempurnakannya, karena ideologi dituntut harus mempunyai fleksibilitas yaitu membuka dirinya untuk diinterpretasikan kembali dari waktu ke waktu sesuai dengan proses perkembangan dan kemajuan masyarakat.
Apa Itu Ideologi?
Secara etimologis, istilah ideologi berasal dari kata Yunani yaitu ‘idea’ yang berarti pemikiran, gagasan dan konsep keyakinan serta ‘logos’ yang berarti pengetahuan. Dengan demikian, konsep ideologi pada dasarnya adalah ilmu pengetahuan tentang gagasan, konsep keyakinan atau pemikiran. Ideologi dapat dibedakan menjadi dua jenis:
Pertama, ideologi doktriner. Ideologi ini bersifat ketat dan mengandung ajaran-ajaran yang disusun secara jelas dan sistematis, serta diindoktrinasikan pada komunitasnya dengan pengawasan ketat dalam rangka pelaksanaan ideologi dan seringkali dimonopoli oleh rezim yang berkuasa. Dalam hal ini, berarti pemimpin suatu negara memiliki kendali penuh dan kekuasaan dalam pelaksanaan negara beserta ideologi yang dianut. Kedudukan pemimpin negara seolah berada di atas kedudukan ideologi dan sistem pemerintahan akan bersifat otoriter.
Kedua, ideologi pragmatis. Ideologi ini bersifat tidak ketat dan mengandung ajaran-ajaran yang tidak disusun secara rinci, tidak diindoktrinasikan, serta tidak memiliki pengawasan yang ketat dalam pelaksanaannya (Emile Durkheim dalam George Simpson, New York, Free Press, 1964.54).
Dalam pengertian lain, Alfian mendefinisikan ideologi sebagai akumulasi nilai-nilai yang dianggap baik dan benar tentang tujuan yang ingin dicapai masyarakat, sekaligus menjadi pedoman dan cita-cita pengatur perilaku masyarakat dalam berbagai kehidupan. Karenanya, ideologi berfungsi menjadi tujuan dan cita-cita bersama masyarakat, serta menjadi pedoman dan alat ukur perilaku dalam hubungannya dengan kebijakan negara serta sebagai pemersatu masyarakat karena menjadi prosedur penyelesaian konflik yang muncul dalam masyarakat tersebut. (Alfian, Idiologi, Idealisme dan Integrasi Nasional, Prisma, 8-8-1976).
Implikasi Logis Pancasila Sebagai Ideologi
Sejak dirumuskannya Pancasila sebagai ideologi bangsa, secara eksplisit maupun implisit Pancasila mengandung konsekuensi logis bagi seluruh organ-organ dan masyarakat yang hidup tumbuh berkembang dalam Negara Indonesia merdeka untuk menyandarkan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat atas dasar Pancasila. Ideologi Pancasila juga memberikan sandaran bagi lalu lintas kehidupan umat manusia di Indonesia.
Suatu ideologi yang dibuat harus berorientasi pada kehidupan masyarakat, mengapa? Hal ini dikarenakan dalam setiap proses pergaulan, apalagi dalam terminologi bangsa yang plural dan heterogen seperti Indonesia haruslah dibutuhkan suatu ‘aturan main’ yang tentunya disepakati bersama untuk memberikan arahan agar setiap konflik pluralitas dan heterogenitas yang mungkin muncul akan dapat terminimalisir, serta bagaimana nilai-nilai dalam ideologi tersebut mengkonstruk struktur sosial yang mempunyai visi kebangsaan yang sama meski berawal dari keragaman (kepentingan). Namun demikian, bukan berarti kehidupan masyarakat semata-mata merupakan manifestasi ideologi. Sebab, selalu saja dialektika yang berkesinambungan antara ideologi dengan kenyataan kehidupan masyarakatnya akan menentukan kualitas dari ideologi tersebut.
Relasi Ideologi dengan Realitas Sosial
Setelah berbicara panjang lebar dan mengenali suatu ideologi, lantas apakah korelasi logis antara sebuah ideologi (dalam hal ini adalah Pancasila) dengan kenyataan kehidupan masyarakat? Sebuah ideologi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dan lepas dari kenyataan hidup masyarakat, namun ideologi adalah sebuah produk atau hasil dari kebudayaan masyarakat. Dan karenanya, dalam artian tertentu merupakan manifestasi sosial dari keinginan luhur masyarakat. Artinya, perumusan suatu ideologi Pancasila seharusnya dimaknai dari adanya keinginan untuk mewujudkan suatu struktur dan konstruk masyarakat yang diidealisasikan sesuai dengan keadaannya.
Pada hakikatnya sebuah ideologi tidak lain merupakan sebuah refleksi manusia atas kemampuannya dalam mengadakan distansi terhadap dunia kehidupannya. Maksud kalimat tersebut adalah bahwa antara ideologi dan kenyataan hidup masyarakat terjadi sebuah hubungan dialektis yang menimbulkan kelangsungan pengaruh hubungan timbal balik yang terwujud dalam sebuah interaksi. Dengan demikian, ideologi mencerminkan cara berpikir dan bertata kehidupan masyarakat serta membentuk masyarakat menuju cita-cita yang telah diharapkan bersama sehingga ideologi seharusnya tidak hanya dianggap sebagai pengetahuan teoritis saja, namun lebih merupakan sesuatu yang dihayati menjadi sebuah keyakinan.
Adakah Kritik Terhadap Pancasila Sebagai Sebuah Ideologi?
Dalam perjalanannya, Pancasila memang kerap kali mendapatkan kritik dari masyarakat dengan melayangkan tuntutan-tuntutan yang bersifat memperdebatkan ‘keabsahan’ Pancasila sebagai sebuah ideologi Indonesia. Seperti munculnya gagasan diberlakukannya federalisme dalam sistem kenegaraan Indonesia, fenomena munculnya kembali partai-partai politik, organisasi massa dan organisasi kepemudaan yang memakai asas di luar Pancasila dalam menjalankan aktivitas administrasi dan organisasinya. Berbagai bentuk penyelewengan atas Pancasila tidak harus dimaknai sebagai sebuah alasan untuk menggantikan ideologi suatu negara. Penyelewengan adalah bukti ketidakseriusan pengelola negara dalam menjalankan Pancasila secara murni dan konsekuen. Itulah sebabnya, agar berbagai penyelewengan atas Pancasila dapat diminimalisir, maka sudah saatnya Pancasila didudukkan kembali menjadi ideologi terbuka yang harus terus menerus disempurnakan sehingga pada akhirnya selalu ‘up to date’ untuk menjawab persoalan yang timbul di negara Indonesia.
Kekuatan Pancasila Sebagai Sebuah Ideologi
Kekuatan ideologi Pancasila dapat diukur dari tiga dimensi yang saling berkaitan, saling mengisi dan saling memperkuat. Ketiga dimensi tersebut adalah:
1. Dimensi Realitas, dimana sebuah ideologi mengandung makna bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya bersumber dari nilai-nilai riil yang hidup dalam masyarakatnya.
2. Dimensi Idealitas, dimana suatu ideologi harus mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Melalui idealisme atau cita-cita yang terkandung dalam ideologi, suatu masyarakat akan mampu mengetahui ke mana mereka ingin membangun kehidupan bersama.
3. Dimensi Fleksibilitas, dimana sebuah ideologi harus memiliki keluwesan yang memungkinkan dan bahkan merangsang pengembangan pemikiran baru yang relevan tanpa menghilangkan atau mengingkari hakikat yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya.
Berdasar pada ketiga dimensi tersebut, Pancasila jelas memenuhi standar realitas, idealitas dan fleksibilitas, karena dinamika internal yang terkandung dalam sifatnya sebagai ideologi terbuka. Secara ideal-konseptual, Pancasila adalah ideologi yang kuat, tangguh, kenyal dan bermutu tinggi. Dinamika internal yang terkandung dalam suatu ideologi biasanya mempermantap, mempermapan dan memperkuat relevansi ideologi tersebut dalam masyarakatnya.
Namun hal tersebut tetap bergantung pada kehadiran beberapa faktor di dalamnya yaitu: kualitas nilai dasar yang terkandung dalam ideologi tersebut; persepsi, sikap, dan tingkah laku masyarakat terhadapnya; kemampuan masyarakat dalam mengembangkan pemikiran-pemikiran baru yang relevan terhadap ideologinya; serta menyangkut seberapa jauh nilai-nilai yang terkandung di dalam ideologi tersebut membudaya dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan berbagai dimensinya.
Perjalanan Pancasila Sebagai Ideologi dari Masa ke Masa
Berawal dari sidang pleno BPUPKI pertama yang diadakan pada tanggal 28 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945. Ketika itu, dr. Radjiman Widyodiningrat dalam pidato pembukaannya selaku ketua BPUPKI mengajukan pertanyaan kepada seluruh anggota sidang mengenai dasar negara apa yang akan dibentuk untuk Indonesia. Pertanyaan ini menjadi persoalan paling dominan sepanjang 29 Mei-1 Juni 1945 dan memunculkan sejumlah pembicara yang mengajukan gagasan mereka mengenai dasar filosofis Indonesia.
Pada tanggal 1 Juni 1945, secara eksplisit Ir. Soekarno mengemukakan gagasannya mengenai dasar negara Indonesia dalam pidatonya yang berjudul “Lahirnya Pancasila”. Menurut Drs. Mohammad Hatta, pidato tersebut bersifat kompromis dan dapat meneduhkan pertentangan tajam antara pendapat yang mempertahankan Negara Islam dan mereka yang menghendaki dasar negara sekuler. Perdebatan tersebut pada akhirnya dimenangkan kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara, terbukti dengan dikeluarkannya Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, ternyata beberapa rumusan Piagam Jakarta diganti dan menimbulkan kekecewaan umat Islam terhadap pemerintahan Soekarno dan Mohammad Hatta dan terus berkembang hingga masa pemerintahan Soeharto, sampai-sampai Carol Gluck mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang terlalu banyak meributkan masalah ideologi dibandingkan negara-negara lain. Melihat pada perkembangan perumusan Pancasia sejak 1 Juni sampai 18 Agustus 1945, dapat diketahui bahwa Pancasila mengalami perkembangan fungsi. Pada tanggal 1 dan 22 Juni, Pancasila yang dirumuskan Panitia Sembilan dan disepakati oleh Sidang Pleno BPUPKI merupakan modus kompromi antara kelompok yang memperjuangkan dasar negara nasionalisme dan kelompok yang memperjuangkan dasar negara Islam. Akan tetapi, pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila yang dirumuskan kembali oleh PPKI berkembang menjadi kompromi antara kaum nasionalis, Islam dan Kristen-Katolik dalam hidup bernegara.
Pada era Orde Lama, dinamika perdebatan ideologi paling sering dibicarakan oleh kebanyakan orang. Tampak ketika akhir tahun 1950-an, Pancasila sudah bukan lagi merupakan kompromi atau titik temu bagi semua ideologi. Dikarenakan Pancasila telah dimanfaatkan sebagai senjata ideologis untuk melegitimasi tuntutan Islam bagi pengakuan negara atas Islam yang kemudian pada rentang tahun 1948-1962 terjadi pemberontakan Darul Islam terhadap pemerintah pusat. Setelah pemberontakan berhasil ditumpas, atas desakan AH Nasution, selaku Pangkostrad dan kepala staf AD, pada 5 Juli 1959 Ir. Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali pada UUD 1945 sebagai satu-satunya konstitusi legal Republik Indonesia dan pemerintahannya dinamai dengan Demokrasi Terpimpin.
Pada masa Demokrasi Terpimpin pun ternyata tidak semulus yang diharapkan. Periode labil ini justru telah membubarkan partai Islam terbesar, Masyumi, karena dianggap ikut andil dalam pemberontakan regional berideologi Islam. Bahkan, Soekarno membatasi kekuasaan partai politik yang ada serta mengusulkan agar rakyat menolak partai-partai politik karena mereka menentang konsep musyawarah dan mufakat yang terkandung dalam Pancasila. Soekarno juga menganjurkan sebuah konsep yang dikenal dengan NASAKOM yang berarti persatuan antara nasionalisme, agama dan komunisme. Kepentingan politis dan ideologis yang saling bertentangan menimbulkan struktur politik yang sangat labil sampai pada akhirnya melahirkan peristiwa G 30S/PKI yang berakhir pada runtuhnya kekuasaan Orde Lama.
Selanjutnya pada masa Orde Baru, Soeharto berusaha meyakinkan bahwa rezim baru adalah pewaris sah dan konstitusional dari presiden pertama. Soeharto mengambil Pancasila sebagai dasar negara dan ini merupakan cara yang paling tepat untuk melegitimasi kekuasaannya. Berbagai bentuk perdebatan ternyata tidak semakin membuat stabilitas negara berjalan dengan baik, tetapi justru struktur politik labil yang semakin mengedepan dikarenakan Soeharto seringkali mengulang pernyataan tegas bahwa perjuangan Orde Baru hanyalah untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen, yang berarti bahwa tidak boleh ada yang menafsirkan resmi tentang Pancasila kecuali dari pemerintah yang berkuasa.
Pada masa reformasi (setelah rezim Soeharto runtuh), seolah menandai adanya jaman baru bagi perkembangan perpolitikan nasional sebagai anti-tesis dari Orde Baru yang dianggap menindas dengan konfrimitas ideologinya. Pada era ini timbul keingingan untuk membentuk masyarakat sipil yang demokratis dan berkeadilan sosial tanpa kooptasi penuh dari negara. Lepas kendalinya masyarakat seolah menjadi fenomena awal dari tragedi besar dan konflik berkepanjangan. Tampaknya era ini mengulang problem perdebatan ideologi yang terjadi pada masa Orde Lama, Orde Baru, yang berakhir dengan instabilitas politik dan perekonomian secara mendasar. Berbagai bentuk interpretasi monolitik selama ini cenderung mengaburkan dan menguburkan makna substansial Pancasila dan berakibat pada Pancasila yang menjadi sebuah mitos, selalu dipahami secara politis-ideologis untuk kepentingan kekuasaan serta nilai-nilai dasar Pancasila menjadi nilai yang distopia, bukan sekedar utopia.
Seperti Apakah Reaktualisasi Ideologi Pancasila?
Pancasila jika akan dihidupkan secara serius, maka setidaknya dapat menjadi etos yang mendorong dari belakang atau menarik dari depan akan perlunya aktualisasi maksimal setiap elemen bangsa. Hal tersebut bisas saja terwujud karena Pancasila itu sendiri memuat lima prinsip dasar di dalamnya, yaitu: Kesatuan/Persatuan, kebebasan, persamaan, kepribadian dan prestasi. Kelima prinsip inilah yang merupakan dasar paling sesuai bagi pembangunan sebuah masyarakat, bangsa dan personal-personal di dalamnya.
Menata sebuah negara itu membutuhkan suatu konsensus bersama sebagai alat lalu lintas kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa konsensus tersebut, masyarakat akan memberlakukan hidup bebas tanpa menghiraukan aturan main yang telah disepakati. Ketika Pancasila telah disepakati bersama sebagai sebuah konsensus, maka Pancasila berperan sebagai payung hukum dan tata nilai prinsipil dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.
Dan sebagai ideologi yang dikenal oleh masyarakat internasional, Pancasila juga mengalami tantangan-tantangan dari pihak luar/asing. Hal ini akan menentukan apakah Pancasila mampu bertahan sebagai ideologi atau berakhir seperti dalam perkiraan David P. Apter dalam pemikirannya “The End of Idiology”. Pancasila merupakan hasil galian dari nilai-nilai sejarah bangsa Indonesia sendiri dan berwujud lima butir mutiara kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu religius monotheis, humanis universal, nasionalis patriotis yang berkesatuan dalam keberagaman, demokrasi dalam musyawarah mufakat dan yang berkeadilan sosial.
Dengan demikian Pancasila bukanlah imitasi dari ideologi negara lain, tetapi mencerminkan nilai amanat penderitaan rakyat dan kejayaan leluhur bangsa. Keampuhan Pancasila sebagai ideologi tergantung pada kesadaran, pemahaman dan pengamalan para pendukungnya. Pancasila selayaknya tetap bertahan sebagai ideologi terbuka yang tidak bersifat doktriner ketat. Nilai dasarnya tetap dipertahankan, namun nilai praktisnya harus bersifat fleksibel. Ketahanan ideologi Pancasila harus menjadi bagian misi bangsa Indonesia dengan keterbukaannya tersebut.
Pada akhirnya, semoga seluruh bangsa dan negara Indonesia serta Pancasila sebagai ideologinya akan tetap bertahan dan tidak goyah meskipun dihantam badai globalisasi dan modernisme. Sebagai generasi penerus, marilah kita menjaga Indonesia dan Pancasila agar saling berdampingan dan tetap utuh hingga anak cucu kita nantinya sebagai penerus kelangsungan negara ini.
Sumber : http://klaussurinka.blogspot.com/2010/05/pancasila-sebagai-ideologi-bangsa-dan.html
SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA, 1 JUNI 1945
Menjelang kekalahannya di akhir Perang Pasifik, tentara pendudukan Jepang berusaha menarik dukungan rakyat Indonesia dengan membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mendapat giliran untuk menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia Merdeka, yang dinamakannya Pancasila. Pidato yang tidak dipersiapkan secara tertulis terlebih dahulu itu diterima secara aklamasi oleh segenap anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai.
Selanjutnya BPUPKI membentuk Panitia Kecil untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar dengan berpedoman pada pidato Bung Karno itu. Dibentuklah Panitia Sembilan (terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, HA Salim, Achmad Soebardjo dan Muhammad Yamin) yang bertugas : Merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara berdasar pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dan menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Demikianlah, lewat proses persidangan dan lobi-lobi akhirnya Pancasila penggalian Bung Karno tersebut berhasil dirumuskan untuk dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, yang disahkan dan dinyatakan sebagai dasar negara Indonesia Merdeka pada tanggal 18 Agustus 1945.
Dalam kedudukan sebagai pemimpin bangsa, Bung Karno tidak pernah melepaskan kesempatan untuk tetap menyosialisasikan Pancasila. Lewat bebagai kesempatan, baik pidato, ceramah, kursus, dan kuliah umum, selalu dijelas-jelaskannya asal-usul dan perkembangan historis masyarakat dan bangsa Indonesia, situasi dan kondisi yang melingkupinya, serta pemikiran-pemikiran dan filosofi yang menjadi dasar dan latar belakang "lahirnya" Pancasila. Juga selalu diyakin-yakinkannya tentang benarnya Pancasila itu sebagai satu-satunya dasar yang bisa dijadikan landasan membangun Indonesia Raya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke, yang merdeka dan berdaulat penuh, demokratis, adil-makmur, rukun-bersatu, aman dan damai untuk selama-lamanya.
Meskipun telah menjadi dasar negara dan filsafat bangsa, pada sidang-sidang badan pembentuk Undang-Undang Dasar (Konstituante) yang berlangsung antara tahun 1957 sampai dengan 1959, Pancasila mendapat ujian yang cukup berat. Tapi berkat kuatnya dukungan sebagian besar rakyat Indonesia, lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Pancasila tetap tegak sebagai dasar negara dan falsafah bangsa Indonesia.
Tetapi ternyata pihak neo-kolonialis dan pihak yang anti-Pancasila tidak tinggal diam. Setelah meletusnya G30S pada tahun 1965, tidak hanya Sukarno yang harus "diselesaikan" dan "dipendhem jero", bukan hanya Republik Proklamasi yang harus diberi warna dan diperlemah, tetapi juga roh bangsai yang bernama Pancasila itu harus secara halus dan pelan-pelan ditiadakan dari bumi Indonesia.
Dengan melalui segala cara dilakukanlah upaya untuk menghapuskan nama Sukarno dalam kaitannya dengan Pancasila. Misalnya, dinyatakan tanggal 18 Agustus 1945 sebagai hari lahir Pancasila, bukan 1 Juni 1945. Demikian juga disebutkan, konsep utama Pancasila berasal dari Mr. Muh. Yamin, yang berpidato lebih dahulu dari Bung Karno.
Tetapi kebenaran tidak bisa ditutup-tutupi untuk selamanya. Ketika pemerintah Belanda menyerahkan dokumen-dokumen asli sidang BPUPKI, terbuktilah bahwa pidato Yamin tidak terdapat di dalamnya. Dengan demikian gugur pulalah teori bahwa Yamin adalah konseptor Pancasila. Maka polemik mengenai Pancasila pun berakhir dengan sendirinya.
Tapi sebagai akibat akumulatif dari polemik Pancasila itu, akhirnya orang menjadi skeptis terhadap Pancasila, kabur pemahaman dan pengertian-pengertiannya, dan menjadi tidak yakin lagi akan kebenarannya. Pancasila semakin hari semakin redup, semakin sayup, tak terdengar lagi gaung dan geloranya.
Apalagi bersamaan dengan kampanye "menghabisi" Bung Karno itu dipropagandakan tekad untuk melaksanakan Pancasila "secara murni dan konsekuen". Padahal di balik kampanye itu, sistem dan praktek-praktek yang dilaksanakan justru penuh ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kekejaman, penindasan dan penginjak-injakan hak asasi manusia; penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme; penuh dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan tindakan-tindakan yang anti-demokrasi dan a-nasional. Kesemuanya itu akhirnya membawa bangsa ini serba terpuruk dan mengalami krisis di segala bidang (krisis multidimensional) yang menyengsarakan rakyat dan mengancam kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang sangat jauh dari cita-cita segenap bangsa Indonesia.
Yang menyedihkan, krisis itu menimbulkan kesimpulan, bahwa yang salah selama ini adalah dasar negara dan falsafah bangsa Pancasila, dan bukannya kesalahan pelaksana atau dalam pelaksanaannya.
Menyadari akan semuanya itu, maka dirasa sangat perlu untuk menyebarluaskan kembali Pancasila ajaran Bung Karno ke segenap lapisan masyarakat dan terutama generasi muda Indonesia, agar kita semua bisa memahaminya secara utuh, meyakini akan kebenarannya, dan siap untuk memperjuangkan dan melaksanakannya.
Untuk itu dalam himpunan ini, selain pidato Lahirnya Pancasila, juga disertakan ceramah, kursus atau kuliah umum yang pernah diberikan oleh Bung Karno dalam berbagai kesempatan. Misalnya kursus-kursus Pancasila yang berlangsung selama beberapa bulan di Jakarta, ceramah pada seminar Pancasila di Yogyakarta, dan pidato peringatan Pancasila di Jakarta.
Kami yakin, bahwa kehadiran sebuah buku yang berisi pidato "Lahirnya Pancasila" beserta rangkaian uraian yang menjelaskannya, yang berasal dari tangan pertama ini akan sangat diperlukan oleh segenap putera tanah air yang terus berusaha menjaga dan mengisi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Semoga bermanfaat.
Ditulis di Jakarta, 11 Maret 2005, Penghimpun : Drs. Soewarno, melalui situs Yayasan Bung Karno di http://www.yayasanbungkarno.or.id
Pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mendapat giliran untuk menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia Merdeka, yang dinamakannya Pancasila. Pidato yang tidak dipersiapkan secara tertulis terlebih dahulu itu diterima secara aklamasi oleh segenap anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai.
Selanjutnya BPUPKI membentuk Panitia Kecil untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar dengan berpedoman pada pidato Bung Karno itu. Dibentuklah Panitia Sembilan (terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, HA Salim, Achmad Soebardjo dan Muhammad Yamin) yang bertugas : Merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara berdasar pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dan menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Demikianlah, lewat proses persidangan dan lobi-lobi akhirnya Pancasila penggalian Bung Karno tersebut berhasil dirumuskan untuk dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, yang disahkan dan dinyatakan sebagai dasar negara Indonesia Merdeka pada tanggal 18 Agustus 1945.
Dalam kedudukan sebagai pemimpin bangsa, Bung Karno tidak pernah melepaskan kesempatan untuk tetap menyosialisasikan Pancasila. Lewat bebagai kesempatan, baik pidato, ceramah, kursus, dan kuliah umum, selalu dijelas-jelaskannya asal-usul dan perkembangan historis masyarakat dan bangsa Indonesia, situasi dan kondisi yang melingkupinya, serta pemikiran-pemikiran dan filosofi yang menjadi dasar dan latar belakang "lahirnya" Pancasila. Juga selalu diyakin-yakinkannya tentang benarnya Pancasila itu sebagai satu-satunya dasar yang bisa dijadikan landasan membangun Indonesia Raya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke, yang merdeka dan berdaulat penuh, demokratis, adil-makmur, rukun-bersatu, aman dan damai untuk selama-lamanya.
Meskipun telah menjadi dasar negara dan filsafat bangsa, pada sidang-sidang badan pembentuk Undang-Undang Dasar (Konstituante) yang berlangsung antara tahun 1957 sampai dengan 1959, Pancasila mendapat ujian yang cukup berat. Tapi berkat kuatnya dukungan sebagian besar rakyat Indonesia, lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Pancasila tetap tegak sebagai dasar negara dan falsafah bangsa Indonesia.
Tetapi ternyata pihak neo-kolonialis dan pihak yang anti-Pancasila tidak tinggal diam. Setelah meletusnya G30S pada tahun 1965, tidak hanya Sukarno yang harus "diselesaikan" dan "dipendhem jero", bukan hanya Republik Proklamasi yang harus diberi warna dan diperlemah, tetapi juga roh bangsai yang bernama Pancasila itu harus secara halus dan pelan-pelan ditiadakan dari bumi Indonesia.
Dengan melalui segala cara dilakukanlah upaya untuk menghapuskan nama Sukarno dalam kaitannya dengan Pancasila. Misalnya, dinyatakan tanggal 18 Agustus 1945 sebagai hari lahir Pancasila, bukan 1 Juni 1945. Demikian juga disebutkan, konsep utama Pancasila berasal dari Mr. Muh. Yamin, yang berpidato lebih dahulu dari Bung Karno.
Tetapi kebenaran tidak bisa ditutup-tutupi untuk selamanya. Ketika pemerintah Belanda menyerahkan dokumen-dokumen asli sidang BPUPKI, terbuktilah bahwa pidato Yamin tidak terdapat di dalamnya. Dengan demikian gugur pulalah teori bahwa Yamin adalah konseptor Pancasila. Maka polemik mengenai Pancasila pun berakhir dengan sendirinya.
Tapi sebagai akibat akumulatif dari polemik Pancasila itu, akhirnya orang menjadi skeptis terhadap Pancasila, kabur pemahaman dan pengertian-pengertiannya, dan menjadi tidak yakin lagi akan kebenarannya. Pancasila semakin hari semakin redup, semakin sayup, tak terdengar lagi gaung dan geloranya.
Apalagi bersamaan dengan kampanye "menghabisi" Bung Karno itu dipropagandakan tekad untuk melaksanakan Pancasila "secara murni dan konsekuen". Padahal di balik kampanye itu, sistem dan praktek-praktek yang dilaksanakan justru penuh ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kekejaman, penindasan dan penginjak-injakan hak asasi manusia; penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme; penuh dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan tindakan-tindakan yang anti-demokrasi dan a-nasional. Kesemuanya itu akhirnya membawa bangsa ini serba terpuruk dan mengalami krisis di segala bidang (krisis multidimensional) yang menyengsarakan rakyat dan mengancam kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang sangat jauh dari cita-cita segenap bangsa Indonesia.
Yang menyedihkan, krisis itu menimbulkan kesimpulan, bahwa yang salah selama ini adalah dasar negara dan falsafah bangsa Pancasila, dan bukannya kesalahan pelaksana atau dalam pelaksanaannya.
Menyadari akan semuanya itu, maka dirasa sangat perlu untuk menyebarluaskan kembali Pancasila ajaran Bung Karno ke segenap lapisan masyarakat dan terutama generasi muda Indonesia, agar kita semua bisa memahaminya secara utuh, meyakini akan kebenarannya, dan siap untuk memperjuangkan dan melaksanakannya.
Untuk itu dalam himpunan ini, selain pidato Lahirnya Pancasila, juga disertakan ceramah, kursus atau kuliah umum yang pernah diberikan oleh Bung Karno dalam berbagai kesempatan. Misalnya kursus-kursus Pancasila yang berlangsung selama beberapa bulan di Jakarta, ceramah pada seminar Pancasila di Yogyakarta, dan pidato peringatan Pancasila di Jakarta.
Kami yakin, bahwa kehadiran sebuah buku yang berisi pidato "Lahirnya Pancasila" beserta rangkaian uraian yang menjelaskannya, yang berasal dari tangan pertama ini akan sangat diperlukan oleh segenap putera tanah air yang terus berusaha menjaga dan mengisi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Semoga bermanfaat.
Ditulis di Jakarta, 11 Maret 2005, Penghimpun : Drs. Soewarno, melalui situs Yayasan Bung Karno di http://www.yayasanbungkarno.or.id
Jumat, 01 April 2011
KONDISI
import javax.swing.*;
class kondisi {
public static void main (String[] args){
int angka = Integer.parseInt(JOptionPane.showInputDialog("masukan angka :"));
int hitung = angka %2;
if(hitung == 0){
JOptionPane.showMessageDialog(null,angka+" adalah bil.Genap","Ganjil Genap",JOptionPane.INFORMATION_MESSAGE);
}
else{
}
JOptionPane.showMessageDialog(null,angka+" adalah bil Ganjil","Ganjil Genap",JOptionPane.INFORMATION_MESSAGE);
}
}
class kondisi {
public static void main (String[] args){
int angka = Integer.parseInt(JOptionPane.showInputDialog("masukan angka :"));
int hitung = angka %2;
if(hitung == 0){
JOptionPane.showMessageDialog(null,angka+" adalah bil.Genap","Ganjil Genap",JOptionPane.INFORMATION_MESSAGE);
}
else{
}
JOptionPane.showMessageDialog(null,angka+" adalah bil Ganjil","Ganjil Genap",JOptionPane.INFORMATION_MESSAGE);
}
}
Langganan:
Postingan (Atom)